Menikah adalah merupakan suatu proses pendewasaan, untuk memasukinya diperlukan pelaku yang berani dan kuat. Berani menghadapi masalah, dan punya kekuatan untuk menemukan jalan keluarnya. Kedengarannya sih memang indah, tapi kenyataannya tak seindah apa yang dibayangkan.
Ada komunikasi dua arah, ada kerelaan mendengar kritik, ada keikhlasan meminta maaf, juga ada ketulusan melupakan kesalahan, keberanian mengemukakan pendapat, keberanian mengatakan kejujuran serta adanya saling keterbukaan. Jadi masalahnya adalah bukan persoalan menikah dengan siapa, anak siapa, kerja apa, hartanya berapa, serta dari mana asalnya.
Sebelum melangkah kesana, makah yang harus dipersiapakan adalah pengenalan diri, baik untuk diri sendiri maupun pasanan hidup kita. Tanpa pengenalan diri sendiri, bagaimana mungkin kita dapat mengenal orang lain? Tanpa memperhatikan diri sendiri, bagaimana kita dapat memperhatikan orang lain..?
Proses pengenalan diri ini sebenarnya secara alamiah telah berjalan sejak kita dilahirkan, tapi persoalannya, data-data sejarah yang terangkai dalam rekaman sang waktu terkadang tak mampu di ikat oleh kesadaran kita tentang bagaimana kita harus mendefinisikan diri kita sendiri. Sehingga sejarah hanya menjadi sensasi-sensasi yang hanya mengisi ruang dan waktu sepanjang hidup kita. Seharusnya sejarah kita harus menjadi data dalam kesadaran kita, yang setiap saat harus di update dan direvisi dari berbagai serangan virus yang datang tanpa kita sadari.
Disamping itu persoalan yang kedua adalah, seringkali manusia menjadi penganut Materialisme Histrois-nya Karl Mark, maksud saya, mereka merekam sejarah kehidupannya hanya sekedar pada tataran pasang-surutnya kehidupan material mereka. Padahal substansi dari sejarah hidup kita sebagai DIRI adalah perkembangan jiwa dan mental kita selama menjelajahi samudra kehidupan ini.
Perkembangan jiwa dan mental kita itu dapat diukur dari perspektif kita terhadap realitas ini, bagaiman pola hubungan yang dijalin antar kita dengan realitas, bagaimana kita harus bersikap pada realitas, bagaimana kita harus mendefinisikan realitas. Sehingga kita akan melahirkan kebijaksanaa-kebijaksanaan yang akan menjadi ciri khas bentuk kearifan kita.
Kembali pada persoalan pernikahan diatas, sebuah hubungan itu harusnya dibangun di atas landasan yang kokoh dan niat yang baik. Landasan yang kokoh ini akan diperoleh dari bentuk-bentuk kearifan yang telah kita miliki tadi. Tanpa itu maka mustahil hubungan itu akan bertahan lama. Bukan bahagia tapi malah jadi bencana.
Yang kedua yaitu niat yang baik. Niat yang baik adalah keinginan/hasrat untuk melakukan perbuatan yang baik dan menhasilkan sesuatu yang baik pula. Itu adalh sebaik-baiknya niat. Akan tetapi jika kita menikah dengan niat yang keluar dari eksistensi pernikahan itu sendiri maka mustahil pula pernikahan itu akan bertahan lama. Misalnya ada yang menikah karena ingin popularitas, jika sudah tidak populer lagi cerai. Anda menikah karean pingin kaya, jika tidak kaya lagi selingkuh. Ada juga yang ingin menikah karena kekuasaan politik, jika tak lagi berkuasa thalak tiga. Dan lain sebagainya.
Jadi kesimpulan akhir dari kami adalah bahwa pernikahan itu disamping tujuan-tujuan yang telah disyari’atkan oleh agama, adalah merupakan proses panjang bagi kita untuk benar-benar menjadi manusia sejati. Manusia yang bisa membedakan dirinya dengan hewan, manusia yang bisa membedakan dirinya dengan syetan, manusia yang membedakan dirinya dengan tumbuh-tumbuhan. Dari itulah dibutuhkan persiapan yang matang.
Dari hal itulah insya-Allah tujuan-tujuan dari pernikahan itu akan tercapai, dimana dalam agama setiadak ada tiga tujuan yaitu:
-Hidup tentram dan Harmonis : jadi tujuan menikah itu adalah ketentraman dan keharmonisan dalam keluarga. Tapi banyak yang terjadi sekarang ini, pernikahan malah dijadikan medang perang baru, hingga masuk media dan infotaimen lagi, keren kan. Jika hal itu tidak berhasil berarti ada yang salah dalam pernikahan itu sendiri.
-Melahirkan Keturunan yang sah dan baik : tujuan ini adalah yang paling berat. Tetapi banyak juga keluarga yang dijadikan pabrik pembutan anak, setelah jadi ditebar kemana-mana, ada yang dititpkan dirumah sakit, di panti asuhan, dijalanan, bahkan ada yang sampai dijual. Hal ini juga disebabkan karena ada kesalah dari pernikah itu.
-Menyambung tali silaturrahim : maksudnya adalah menyatukan dua keluarga dalam rantai tali silaturrahmi yang rukun, akur, dan damai. Kita liat fenomena yang lain, karena pernikahannya gagal malah buka menyambung famili, tapi merangkai musuh-musuh baru. Perang lagi-perang lagi.
Berfikirlah dengan hati, kemudian akal, baru pertimbangkan yang terakhir yaitu nafsu. Bukan Nafsu dulu yang diletakkan di depan. What About You….?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar